top of page
Search

Soekarno Murka, NU Tolak Kabinet Kaki Empat

Updated: Apr 10, 2020



Dari hasil Pemilu yang telah ditetapkan terdapat empat besar partai, berdasarkan proporsi kemenangan yang diperoleh partai maka kesemuanya berhak mendapatkan posisi yang layak duduk di kabinet, baik PNI, Masyumi, NU mapun PKI. Tetapi kelihatannya partai-partai besar dan beberapa partai kecil enggan menerima duduknya wakil PKI di kabinet. Melihat kenyataan itu Bung Karno sebagai Presiden mencoba menjembatani dengan mengundang seluruh pimpinan partai pada 21 Februari 1957 tentang perlunya membentuk kabinet yang lengkap terdiri dari partai besar yang ada dengan mengeluarkan Konsepsi Presiden tentang Kabinet Kaki Empat. NU beserta partai politik lainnya seperti Masyumi, PSII, Partai Katolik dan lain-lain menolak terbentuknya Kabinet Kaki empat. Sementara PNI, Murba dan PKI sendiri setuju dengan Konsepsi presiden tentang kabinet Kaki empat tersebut. Ini merupakan bentuk lebih lanjut tentang kewaspadaan NU terhadap bahaya komunisme.

Sikap keras NU tersebut membuat Bung Karno Marah dan mengundang tokoh NU KH Wahab Hasbullah, KH. Zainul Arififin dan KH. Idham Chalid. Kepada mereka Bung Karno mengatakan

Bung Karno : Kenapa (NU) menolak Kabinet kaki empat”

KH. Idham : Karena banyak kiai NU disembelih (PKI) pada waktu Peristiwa Madiun, itu belum terlupakan oleh kami”

Bung Karno : Kalau kamu belum bisa melupakan bagaimana kita bernegara ?”

KH. Idham : Itulah Pak, saya ini membawa bukan suara saya pribadi, tapi suara

semua orang (NU).”

Bung Karno : Tuan tuan ini keras kepala betul.”

KH. Idham : Memang Pak…..Jikalau PKI ditaruh dibahu dia akan naik kepala,

itu pengalaman di negara-negara komunis.”

Bung Karno : Itu kan di Negara lain.

KH. Idham : Buktinya Pak sewaktu di Madiun kan (PKI) sudah menimbulkan

korban banyak di kalangan rakyat’

Bung Karno : Ya itu kan lain, nanti saya yang menghadapi kalau mereka berani

(memberontak) lagi”.

KH. Idham : Lebih baik PKI jangan diberi angin saja. Kami punya keyakinan

suatu saat PKI akan memberontak lagi….Kalau seandainya NU tidak pantas

ikut di Kabinet saya dengan suka rela akan mengundurkan diri.”

Bung Karno : Tidak ini prinsip saya. Kita harus kerja di satu meja, juga harus

makan bersama di meja yang sama…”.

KH. Idham : Tidak bisa Pak, .. saya hanya satu di antar sekian juta orang NU

yang memutuskan tidak bisa kerjasama dengan PKI”.

Bung Karno : Saudara tahu saya ini bukan PKI, saya ini orang Islam, tapi kita

ini harus mengurus dunia. Ada 6 juta suara (PKI) tidak diikutkan. Ini

berbahaya”

KH. Idham : “Kami berpendapat justru kalau PKI diikutkan berbahaya”

Bung Karno: : "Itu berarti saudara kena propaganda Masyumi”

Gambar : KH. Idham Chalid bersalaman dengan Ir. Soekarno

Kekhawatiran terhadap perkembangan politik serta agresivitas PKI dalam mengembangkan agendanya juga dialami oleh umat Islam yang lain karena itu pada tahun 1957 di Palembang Sumatera Selatan Umat Islam mengeluarkan statemen tentang bahaya PKI dan mengingatkan pada umat Islam agar tidak terpengaruh propaganda PKI dan menjadi pendukung PKI.

Setelah itu diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota Majelis Konstutuante pada 15 Desember 1955. Konstituante ini bertangung jawab dalam penyusunan undang-undang dasar. Dalam Pemilu Konstituante ini mendapatkan perolehan suara yang cukup besar yaitu mendapatkan 91 kursi dari 500 kursi yang diperebutkan.

Dalam sidang Konstiuante ini NU juga berhadapan dengan PKI, terutama ketika merumuskan dasar negara yang dimulai dalam Sidang Pleno tahun 1958. PKI yang berpaham Marxisme- Lenininisme itu ternyata bersatu dengan Partai Nasionalis lain mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Hal bukannya menarik simpati melainkan malah membuat NU dan kemlompok Islam lain khawatir dan curiga, karena tidak mungkin PKI bisa menerima ideologi lain selain Marxisme, sebagaimana diucapkan sendiri oleh Nyoto dalam sidang Konstituante

“Alasan PKI menerima Pancasila sama benar dengan alasan saudara saudara Nasionalis, Protestan Katolik Hindu Bali, Animis, Perbegu, dan umat Politheis lainnya serta kaum Atheis yang tergabung dalam partai apapun, yaitu demi keutuhan Republik kita, demi persatuan dan kesatuan segenap rakyat kita yang sama nasib dan sama tujuan yaitu mengenyahkan sisa-sisa kolonialisme di tanah air kita”

Pernyataan PKI yang tegas itu membuat NU semakin mewaspadai motif PKI untuk menggunakan Pancasila sebagai alat politik untuk mengecoh lawan-lawannya. Penerimaan ini dianggap hanya sebagai taktik, karena di manapun PKI memiliki cita-cita mendirikan negara komunis berdasarkan Marxisme. Apa lagi kemudian kalangan NU menjumpai pidato Ketua CC PKI DN Aidit di luar Konstituante, yaitu ketika dihadapan kadernya sendiri ia mengatakan

“Pancasila sekadar alat pemersatu, jika rakyat sudah bersatu, maka Pancasila tidak diperlukan lagi. Jika PKI telah berkuasa mutlak rakyat akan bisa bersatu.”

Pernyataan Aidit itu membuat NU semakin berhati-hati menghadapi tipu daya PKI terhadap Pancasila itu. Sikap itu dipertegas lagi oleh pernyataan yang disampaikan oleh Nyoto bahwa

“Partai Komunis Indonesia sebenarnya nmenganggap lebih bijaksana apabila rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan Kemerdekaan Beragama.”

Pernyataan itu semakin menjelaskan bahwa penerimaan PKI terhadap Pancasila itu bukan untuk mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sebagai langkah untuk mengubah sila-sila dalam Pancasila agar sesuai dengan prinsip Komunisme.

Untuk menyelamatkan Pancasila dari rongrongan dan manipulasi PKI itu maka dalam Rapat PBNU 20 Februari 1959 memutuskan perlunya penegasan Pancasila yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, bukan Pancasila ala Marxisme. Sikap NU itu kemudian disampaikan KH Saifuddin Zuhri dalam sidang Konstituante, yang banyak mendapat simpati dari berbagai kalangan. Dalam memahami Pancasila NU bersikap prinsipil, Pancasila sebagai landasan berpikir sebagai falsafah hidup dan sekaligus merupakan tujuan akhir dari perjuangan bangsa Indonesia. Pandangan NU tentang Pancasila sangat substansialis, bukan pandangan yang instrumentalis seperti PKI atau beberapa partai lainnya yang menempatkan Pancasila hanya sebagai alat yang bisa dibuang kapan saja setelah dianggap tidak berguna.

Setelah dibubarkannya Masyumi dan PSI oleh pemerintah karena melakukan pemberontakan PRRI Permesta, maka posisi PKI semakin kuat. Tentu hal itu sangat menguntungkan PKI karena salah satu musuh utamanya telah tumbang. Dengan demikian peta politik telah bergeser, musuh PKI tingga satu yaitu NU ini sangat menguntungkan PKI. Sebaliknya hal itu sangat mengkhawatirkan NU, karena akhirnya NU sendirian menghadapi PKI, paling hanya didukung beberapa partai kecil seperti PSII dan Perti. Kondisi ini membuat peluang dan posisi dalam pemerintahan juga cukup kuat. Dalam Pembentukan Kabinet Kerja II 1962 mengangkat Aidit sebagai Wakil Ketua MPRS dan Lukman sebagai Wakil Ketua DPR-GR dengan kedudukan sebagai Menteri. Begitu juga dalam Kabinet Kerja IV tokoh PKI Nyoto ditunjuk sebagai Menteri Negara. Dengan demikian masuknya PKI ke dalam kabinet sudah tidak terbendung lagi.


Dengan posisinya yang strategis baik dalam dewan eksekutif maupun legislatif itu posisi PKI semakin kuat, belum lagi di lingkungan TNI Polisi dan Birokrasi. Selain itu juga di kalangan petani, buruh, Guru, seniman, dan lain sebagainya betul-betul digunakan sebagai sarana revolusi. Belum lagi di berbagai daerah PKI mendapatkan suara besar bahkan mayoritas, sehingga dengan sendirinya posisi pimpinan daerah dipegang oleh PKI. Di Trenggalek Misalnya dalam Pemilu sela 1957 perolehan kursi PKI sama dengan PNI yaitu 10 sementara NU hanya mendapatkan 6 kursi . Di Banyuwangi suara PKI juga mayoritas sehingga berhasil memenangkan kadernya yaitu Suwarno Kanapi, SH. sebagai Bupati Banyuwangi. Semnatara itu di Blitar Kader PKI Sumarsono menjadi Bupati. Dalam pemilu ini PKI telah memperoleh kekuatan yang sangat berarti dengan menduduki berbagai kekuasan eksekutif di daerah, sehingga dengan mudah menjalankan agendanya, baik dalam merebut aset-aset Negara maupun mempengaruhi ideologi rakyat.


Untuk merayakan semua kemenangan itu CC PKI menyelenggarakan hari ulang tahun (Ultah) ke -45 di Jakarta pada 23 Mei 1965 di Gedung Olah Raga Bung Karno Senayan yang dihadiri sekitar 150 ribu pendukungnya. Dalam kesempatan itulah Aidit kembali menggerakkan pasukannya untuk segera mennghabisi tujuh setan desa, dan untuk segera mengganyang tiga setan kota, dan menyerukan segera dibentuk Kabinet Gorong Royong yang berporoskan Nasakom, di situ pula dia menuntut segera dibentuk Angkatan kelima. Seruan Aidit tersebut disambut gegap gempita oleh anggota dan simaptisannya dan dilaksanakan dalam bentuk nyata baik di pusat maupun di daerah, sehingga situasi poltik semakin panas. Keresahan umum muncul di berbagai tempat akibat gerakan PKI yang mulai mengganggu ketenteraman masyarakat dengan berbagai teror dan agitasinya.

Perkembangan PKI semakin pesat sehingga Ketua badan Intelijen Pusat (BPI) yang menjadi simpatisan dan pundukung PKI Dr Subandrio memastikan bahwa



“PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi underbouw PKI seperti BTI, Sobsi dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC dan Uni Soviet. PKI adalah partai besar, tentu memiliki ambisi politik tertentu, bahkan beberapa tokoh PKI masuk kabinet, banyak juga di ABRI, sebab saat itu PKI partai legal. Jadi wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI. Jangan lupa PKI memiliki masa yang sangat besar sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.”

Dari situlah kemudian Subandrio berkesimpulan bahwa hanya ada tiga kekuatan yang mendominasi politik Indonesia yaitu pertama, Unsur Kekuatan Presiden RI, kedua, Unsur kekuatan TNI AD, ketiga Unsur kekuatan PKI. Dengan kekuatan besar lebih dari 20 juta orang itulah PKI semakin percaya diri, sehingga makin berani melakukan berbagai provokasi dan teror terhadap lawan politiknya, terutama kelompok Islam yang dianggap bagian dari setan kota dan setan desa.


Dari besarnya jumlah anggota PKI itu semua bisa membayangkan betapa dominannya PKI, sehing ga diperkirakan dapat memerahkan Indonesia dalam sekejap. Kebesaran PKI itu digambarkan oleh Subandrio sebagai berikut

"Betapa ngeri membayangkan PKI dengan tiga juta anggota didukung 17 juta anggota organisasi underbouwnya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu.”

Dengan jumlah sebesar itu pada tahun 1965 dalam hitungan di atas kertas PKI bisa menggulung lawannya TNI yang hanya sekitar 300 ribu personel, itupun sebagian telah menjadi anggota PKI. Demikian juga musuh PKI yang lain yaitu NU yang jumlahnya hanya sekitar delapan juta. Tetapi kalangan NU dengan penuh keberanian terus melakukan perlawanan terhadap PKI baik di pusat hingga ke daerah.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2020 by Elliot. Proudly created with Wix.com

bottom of page