Menjerat Hati Rakyat Lewat Siasat PKI vs NU
- Antonia Faruq
- Apr 9, 2020
- 5 min read
Gambar : Muktamar NU di Palembang pada Oktober 1952
Ketika hendak memasuki Pemilu 1955 itu mulai terjadi benturan langsung antara NU dengan PKI, bermula dengan cara PKI saat mendaftarkan tanda gambarnya pada Kementerian dalam Negeri yang menyebutkan PKI sebagai partai orang Komunis dan orang - orang tidak berpartai. Pendiri PKI itu ditentang keras oleh NU karena berusaha mengklaim kelompok lain yang belum tentu PKI. Setelah berdebat keras antara KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum Partai NU dengan DN Aidit Sekjen CC PKI yang dimoderatori oleh Menteri Dalam Negeri R Soenarjo yang berasal dari NU itu, akhirnya PKI bisa dikalahkan. Dengan hadirnya NU ini PKI ketambahan lawan tangguh satu lagi, kalau biasanya yang dihadapi Masyumi sekarang harus berhadapan pula dengan NU.Tetapi dalam menghadapi NU tidak sekeras dalam menghadapi Masyumi sebagai musuh bebuyutan PKI. Apalagi NU selalu piawai dalam membawakan diri sehingga tidak menjadi target utama PKI dan partai lain.
Mengingat sejarah perjuangan PKI yang penuh dengan tindakan subversif dan penuh dengan pertumpahan darah maka dalam hal itu NU sangat tegas sikapnya dalam menghadapi PKI. Bahkan tema kampanye pemilu 1955 yang dirumuskan oleh Lajnah PemilihanUmum NU (LAPUNU) pada Juli 1955 dengan tegas menempatkan PKI sebagai lawan politik yang harus dibendung perkembangannya. Tema Kampanye NU dalam Pemilu ialah
1. NU hanya loyal kepada Negara Republik Indonesia yang di-Proklamasikan Oleh Soekarno-Hatta pada tangal 17 Agustus 1945.
2. Loyalitas NU itu dilandasi oleh semangat menggalang kerjasama Islam-Nasional agar potensi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslimin dan Nasionalis itu tetap kompak tidak terpecah-pecah.
3. Menentang paham komunisme dan segala bentuk atheisme yang lain-lain.
4. Menjaga dan membela 6 perkara yang menjadi inti hak asasi manusia:
- Agama
- Keselamatan nyawa
- Harta benda
- Keturunan
- Akal pikiran
- Kehormatan
5. Hal-hal yang lain yang berhubungan dengan cita-cita Perjuangan NU.
Dari tema kampanye tersebut bahwa NU masih sangat curiga terhadap munculnya negara Indonesia versi lain baik versi Negara Indonesia serikat nya Van Mook, Negara Front Nasional ala FDR PKI, atau negara Islam versi Darul Islam versi DI-TII. Prinsip itu juga yang digunakan NU dalam menghadapi pemberontakan dewan banteng maupun PRRI Permesta serta RMS. Yang lebih tegas lagi dalam poin ketiga yakni menentang paham komunisme dan segala bentuk atheisme. NU tidak ingin PKI diberi hak hidup di republik ini sebab kalau dibiarkan akan merepotkan negara meresahkan masyarakat karena akan selalu melakukan sabotase dan akan selalu memberontak dan melakukan berbagai kekejaman di luar perikemanusaiaan padahal tujuan agama adalah untuk menjujung hak dasar manusia sebagaiman disebutkan dalam poin 4 yang disebut kuliyatul khomis (lima prinsip), sebagai bentuk dari maqashidus Syari’ah.
Komunisme bertentangan dengan tujuan syariah untuk menegakkan hal dasar karena itu komunisme merupakan bagian dari madlaorot, sementara dalam hukum fikih ditegaskan bahwa ad dloraru yuzalu (bencana harus disingkirkan) maka Komunisme sebagai sumber bencana harus disingkirkan. Penyingkiran NU selain merupakan keharusan politik tetapi juga merupakan kewajiban sya’ri. Karena itu NU menolak segala macam bentuk komunisme dan atheisme. Hal itu yang mawarnai politik NU selama masa demokrasi parlementer tahun 1950-an, hingga masa Demokrasi Terpimpin tahun 1960-an. Dalam situasi krisis semacam itu KH Saifuddin Zuhri menegaskan bahwa agama merupakan unsur mutlak dalam pembangunan bangsa, dengan agama itu pulalah bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupaun ateisme yang melahirkan liberalisme dan fasisme.
Dalam pelaksanaan kampanye Pemilu yang masing–masing secara terbuka bebas menyampaikan agendanya dan terbuka bersaing untuk menarik simpati rakyat, maka PKI tidak lupa selalu mengejek lawan Politiknya. Dan melakukan berbagai monuver bahwa dirinya partai paling peduli dengan rakyat. Dalam suatu Kampanye Pemilu di Jawa Tengah Masyumi mengundang KH Isa Anshory, kehadiran juru kampanye itu disambut dengan iring - iringan mobil. Pawai yang dimaksud untuk kekuatan itu dibalik oleh PKI bahwa Masyumi partai borjuis antek kapitalis yang senang mempertontonkan kemewahan di tengah rakyat yang sengsara.
Sebagai tandingannya PKI menyelenggarakan Kampanye di lapangan yang sama dengan menyelenggarakan pawai kerakyatan. Untuk menyambut kedatangan Juru Kampanye dari CC PKI DN Aidit itu dibuat arak-arakan mobil oplet yang lusuh, untuk mengesankan PKI anti kemewahan, anti kapitalis dan paling peduli terhadap nasib rakyat.
Merespon pertarungan citra itu NU juga menyelenggarakan Kampanye di lapangan yang sama juga mengundang dari PBNU. Untuk menyambut datangnya Jurkam dari PBNU itu tidak disambut dengan iringan mobil bagus atau opelet, tetapi KH. Idham Chalid cukup naik ojek sepeda motor, sehingga walaupun tanpa slogan tetapi menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat. Langkah taktik NU ini mampu membungkam propaganda PKI yang selalu mengklaim sebagai partai paling merakyat. Sebagai partai kaum santri justru NU paling dekat dengan masyarakat.
Untuk meramaikan kampanye itu masing-masing memiliki slogan dan terjadi saling perang perjuangan. Kalau PKI menciptakan lagu Genjer-Genjer sebagai lagu resminya, maka NU menciptakan Shalawat Badar. Shalawat ciptaan Kiai Ali Manshur di Banyuwangi itu menjadi lagu resmi yang dikumandangkan setiap Pengajian dan kampanye NU. Lagu itu mampu menyihir dan menggerakakan militansi pendukung NU, sekaligus menyemarakkan kampanye. Dengan sendirinya Kampanye Pemilu ini semakin mempercepat pemanasan suasana politik, dengan sendirinya semakin memperuncing keadaan.
Setelah dilaksanakan Pemilu pada 29 September 1955, hasilnya sangat mengejutkan NU sebagai partai baru lahir telah mendapatkan 45 kursi di DPR. PNI 57 kursi, Masyumi 57, sementara PKI juga memperoleh hasil yang sangat meyakinkan yakni 39 kursi. Sebagai pemenang urutan ketiga NU didukung oleh 6.955.141 orang pemilih. Ini merupakan prestasi yang luar biasa dibandingkan dengan PSI yang katanya dipimpin oleh kelompok intelektual pendidikan Barat, ternyata tidak mampu membangun jaringan politik sehingga hanya memperoleh 5 kursi. Sementara PKI dengan 39 kursi itu berarti didukung oleh 6. 176.914 orang pemilih,. PKI setelah bangkit dari keterpurukannya telah mampu mengejar partai lain dan semakin mengukuhkan posisinya. Itu perolehan di tingkat nasional, tetapi di tingkat daerah ada beberapa daerah yang pemilunya dimenangkan NU, tetapi juga banyak daerah yang pemenang utamanya adalah PKI, kalaupun tidak mendapatkan suara imbang dengan NU atau dengan PNI. Bahkan dibeberapa tempat kalangan militer sebagai contoh di Jawa Timur,Batalyon 513 yang bermarkas di Blitar dan batalyon 511 Malang serta batalyon 512 yang juga bermarkas di Rampal Malang sebagian anggota mereka adalah simpatisan PKI. Pada pemilu 1955 perolehan suara PKI di Balatyon tersebut 80 persen ,di Yogyakarta Batalyon L atau Batalyon Kentungan juga didominasi unsur PKI, demikian juga di Divisi Diponegoro di Semarang, kelompok PKI cukup mendominasi, sehingga Markas Kodam sempat diungsikan ke Wisma Puri Wedari , ini sebuah petunjuk bahwa PKI telah menguasai berbagai lini strategis.
Hasil itu sangat mencemaskan NU karena dengan menguatnya posisi PKI maka ketenteraman dalam beragama dan bernegara akan mengalami ancaman. Namun demikian NU juga memperoleh optimisme baru sebab selama bergabung dengan Masyumi dengan kontribusi yang sangat besar hanya diberi 8 kursi. Paling banter dapat satu kabinet. Sekarang berdiri sediri malah meperoleh 45 kursi serta mendapatkan kursi kabinet antara lima hingga delapan kementerian serta 91 kursi di Majelis Konstituate.
Daftar Pustaka :
1. Buku Putih Benturan NU - PKI 1948 - 1965, oleh H. Abdul Mun’im DZ Jakarta 2013
Comments